Terimakasih untk dosen saya Ibu Derinta yang telah mewujudkan mimpi saya untuk menulis tentang tema “Produk Cina di setiap lini” ini menjadi bahan ajaran tugas yang deadline pada tanggal dan hari yang bagus ini yaitu Jumat, 11 November 2011. Blog saya terpenuhi lagi dengan postingan terbaru setelah sekian lama tidak sempat menuangkan tulisan di blog ini lagi.
Dan berikut penjelasannya…cekidot J
Di saat negara Indonesia sedang mengalami krisis perjuangan untuk meningkatkan nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing, negara Cina justru mendapat dukungan dari dunia untuk mengembangkan nilai mata uangnya yang dinilai ditegaskan terlalu rendah. Penegasan nilai yuan yang sudah dilakukan sejak tahun 1994 ini diprotes karena diduga sebagai penyebab utama murahnya harga produk-produk Cina di pasaran dunia. Keresahan tersebut begitu menguatkan produk-produk berlabel made in China medominasi pasar dunia mulai dari sekedar peniti sampai perangkat elektronika canggih.
Berbagai faktor yang mendasari perekonomian Cina bisa seperti ini, dimana dengan pertumbuhan ekonomi rata-rata diatas 7% setiap tahunnya telah mengantarkan Cina sebagai salah satu raksasa perekonomian dunia. Faktor nilai tukar mata uang sudah pasti bukan hal mutlak penyebab mampu berjaya menguasai pasar dunia. Hal ini tentu saja dapat dimaklumi mengingat kalau hanya faktor itu, seharusnya Indonesia juga sudah bisa mengambil manfaat dari nilai tukar rupiah yang sangat menyedihkan.
Hal lebih penting dari itu merupakan faktor penyebab Cina begitu produktif untuk dapat menghasilkan produk-produk berkualitas yang sangat diterima oleh pasar dunia. Negara-negara G-7 saja bahkan secara terang-terangan merangkui Cina yang saat ini menduduki peringkat keempat dalam perdagangan dunia, di bawah AS, Jerman dan Jepang untuk mau berbagi dan berbicara dalam forum mereka. “Ternyata selain karena aliran modal asing dan teknologi tinggi, yang justru sangat menarik dari pengalaman Cina adalah besarnya peran Usaha Kecil dan Menegah (UKM) dan bisnis swasta daerah yang disebut sebagai Township and Village Enterprises (TVEs) dalam menopang kekuatan ekspornya”.
Hal lain yang memacu produk Cina menguasai pasar berperan penting dalam TVEs bagi perekonomian Cina . Memang tak bisa disepelekan sumbangsih TVEs yang terjadi bagi perekonomian Cina. TVEs yang semula merupakan perkembangan dari industri pedesaan yang digalakkan oleh pemerintah Cina. Jika pada tahun 1960 jumlahnya hanya sekitar 117 ribu, namun semenjak reformasi tahun 1978 jumlahnya meningkat secara drastis menjadi 1,52 juta. Apabila dilihat dari sisi penyediaan lapangan kerja, TVEs di akhir tahun 1990-an telah menampung setengah dari tenaga kerja di pedesaan Cina.
Walaupun sejarah perkembangan TVEs ini mengatakan pernah mengalami pasang surut dan tidak merata di seluruh wilayah Cina, namun secara keseluruhan Cina mengalami pertumbuhan yang sangat mengesankan. Produksi TVEs meningkat dengan rata-rata 22,9 persen pada periode 1978-1994. Secara nasional, output TVEs pada tahun 1994 mencapai 42% dari seluruh produksi nasional. Sedangkan untuk volume ekspor, TVEs memberikan kontribusi sebesar sepertiga dari volume total ekspor Cina pada tahun 1990-an.
Dilihat dari sisi perdagangan secara angka di atas kertas memang masih terlihat bahwa ekspor kita masih surplus dibanding Cina. Menurut data yang diperoleh dari Dubes RI di China, bahwa tepatnya sampai dengan 3 Agustus 2004 dilihat dari sudut pandang perdagangan luar negeri China, saat ini Indonesia merupakan negara tujuan ekspor urutan ke-17 dengan nilai 2,66 miliar dollar AS atau 1,03 persen dari total ekspor China yang mencapai nilai 258,21 miliar dollar AS. Indonesia juga menjadi negara asal impor ke-17 bagi China dengan nilai ekspor 3,44 miliar dollar AS.
Walaupun demikian, kenyataannya bahwa barang produksi Cina tampak dimana-mana. Kita tidak bisa pungkiri bahwa banyak produk dari negeri panda tersebut yang masuk secara ilegal ke Indonesia sehingga tidak ikut tercatat secara resmi dalam laporan tersebut. Namun penjelasan dari Ketua Umum Kadin Indonesia Komite Cina, Sharif Cicip Sutardjo sangat masuk akal. Sebagaimana dikutip dari wawancara dengan Sinar Harapan dijelaskan bahwa ekspor Indonesia ke Cina memang besar namun sebagian besar merupakan bahan mentah dengan jumlah item yang sangat sedikit, kurang lebih hanya 15 item seperti migas, CPO, karet, kayu, dan lain-lain. Sedangkan dari Cina kita mengimpor ratusan item, mulai dari ampas, hasil pertanian, peralatan sampai ke motor dan mobil. Sebagian besar perusahaan yang menghasilkan produk-produk itu semua di Cina hanyalah industri swasta, UKM atau TVEs .
Kenyataan ini sungguh berkebalikan dengan keadaan UKM kita yang kurang diberdayakan padahal memiliki potensi yang sangat besar. Jumlah UKM mencakup 99 % dari total seluruh industri di Indonesia dan menyerap sekitar 56 % dari jumlah total seluruh pekerja Indonesia. Untuk itu sangat perlu kita lihat upaya apa saja yang telah dilakukan oleh pemerintah Cina untuk memajukan industri swasta khusunya UKM, mengingat UKM kita juga sebenarnya punya kemampuan. Hal ini terbukti pada saat krisis moneter justru sektor UKM yang mampu bertahan.
Usaha Pemerintah Cina yang Dirintis Sejak Lama
Faktor lain yang terjadi merupakan hasil usaha bertahun-tahun dari apa yang sekarang Cina nikmati dari Industrinya. Pada tahun 1986 dipimpin oleh State Science and Technology Commission (SSTC) Cina memperkenalkan Torch Program yang bertujuan untuk mengembangkan penemuan-penemuan dan penelitian-penelitian oleh universitas dan lembaga riset pemerintah untuk keperluan komersialisasi. Hasil yang diperoleh kemudian ditindaklanjuti dengan membuat New Technology Enterprises (NTEs). Selanjutnya SSTC mengembangkan 52 high-tchnology zones yang serupa dengan research park di Amerika dengan bertumpu pada NTEs tadi. Walaupu, NTEs ini bersifat perusahaan bersakala besar namun kedepannya memiliki peran sebagai basis dalam pengembangan teknologi untuk industri-industri kecil dan menengah.
Pemerintah Cina kemudian masih dengan SSTC mengeluarkan kebijakan untuk mendukung TVEs yang disebut sebagai The Spark Plan. Kebijakan ini terdiri dari 3 kegiatan utama yang berangkaian. Pertama, memberikan pelatihan bagi 200.000 pemuda desa setiap tahunnya berupa satu atau dua teknik yang dapat diterapkan di daerahnya. Kegiatan kedua dilakukan dengan lembaga riset di tingkat pusat dan tingkat provinsi guna membangun peralatan teknologi yang siap pakai di pedesaan. Dan yang ketiga adalah dengan mendirikan 500 TVEs yang berkualitas sebagai pilot project.
Pemerintah Cina juga berusaha menempatkan diri sebagai pelayan dengan menyediakan segala kebutuhan yang diperlukan oleh industri. Mulai dari hal yang paling essensial dalam memulai sebuah usaha yaitu birokrasi perizinan yang mudah dan cepat, dimana dalam sebuah artikel dikatakan bahwa untuk memulai usaha di Cina hanya membutuhkan waktu tunggu selama 40 hari, bandingkan dengan Indonesia yang membutuhkan waktu 151 hari untuk mengurus perizinan usaha.
Tidak ketinggalan infrastruktur penunjang untuk memacu ekspor yang disiapkan oleh pemerintah Cina secara serius. Bila pada tahun 1978 total panjang jalan raya di Cina hanya 89.200 km, maka pada tahun 2002 meningkat tajam menjadi 170.000 km. Untuk pelabuhan, setidaknya saat ini Cina memiliki 3.800 pelabuhan angkut, 300 di antaranya dapat menerima kapal berkapasitas 10.000 MT. Sementara untuk keperluan tenaga listrik pada tahun 2001 saja Cina telah mampu menyediakan sebesar 14,78 triliun kwh, dan saat ini telah dilakukan persiapan untuk membangun PLTA terbesar di dunia yang direncanakan sudah dapat digunakan pada tahun 2009.
SDM Terbaik Sebagai Pengusaha
Dalam hal SDM untuk dunia usaha Cina juga tidak tanggung-tanggung dalam mengarahkan orang-orang terbaiknya untuk menjadi pengusaha yang handal. Sejak tahun 1990-an, Cina telah mengirimkan ribuan tenaga mudanya yang terbaik untuk belajar ke beberapa universitas terbaik di Amerika Serikat, seperti Harvard, Stanford, dan MIT. Di Harvard saja, Cina telah mengirimkan ribuan mahasiswanya untuk mempelajari sistem ekonomi terbuka dan kebijakan pemerintahan barat, walaupun Cina masih menerapkan sistim ekonomi yang relatif tertutup. Sebagai hasilnya, Cina saat ini telah memiliki jaringan perdagangan yang sangat mantap dengan Amerika, bahkan memperoleh status sebagai The Most Prefered Trading Partner .
Pemerintah Cina juga membujuk para overseas Chinese scholars and professionals, terutama yang sedang dan pernah bekerja di pusat-pusat riset dan MNCs di bidang teknologi di seluruh penjuru dunia untuk mau pulang kampung dan membuka perusahaan baru di Cina. Mantan-mantan tenaga ahli dari Silicon Valley dan IBM ini misalnya, diharapkan nantinya juga akan dapat mempermudah pembukaan jaringan usaha dengan MNCs ex-employer lainnya yang tersebar di seluruh dunia. Tentu saja bujukan itu dilakukan dengan iming-iming kemudahan dan fasilitas untuk memulai usaha, seperti insentif pajak, kemudahan dalam perizinan, dan suntikan modal.
Kasus yang terjadi di Indonesia
Berbagai produk Cina yang menyebar di Indonesia antara lain mainan anak sebesar 72 persen, furnitur 54 persen, elektronik 90 persen, tekstil dan produk tekstil (TPT) 33 persen, permesinan 22,22 persen, dan logam 18 persen. Produk Cina yang ditawarkan di Indonesia berlaku system “Value for Money” dan “Economy” mempunyai market targeting terhadap penduduk yang berpendapatan menengah ataupun berada dalam garis kemiskinan yang tepat sekali ditawarkan ke Negara Indonesia tercinta ini.
Produk Cina membanjiri Indonesia dengan harga yang murah tetapi kualitas nomor sekian atau kurang diperhatikan oleh konsumen lokal. Malangnya dengan tergiurnya produk Cina yang ditawarkan, konsumen tidak peduli dengan kualitas yang dijamin akan rusak sangat cepat dalam hitungan minggu atau bulan.
Barang produksi home industri negeri China mampu menembus pasar Indonesia, ini adalah peluang yang sangat empuk bagi ekonomi mereka, Devisa RRC meningkat tajam dan berbanding terbalik dengan negara kita. Bagaimana tidak, kalau dulu di jaman pak Harto kita kebanjiran produk Jepang, semua alat rumah tangga sampai bolpen pun made in japan. Kini semua peralatan yang murah – murah made in China. Handphone china, tv china komputer china dan lainnya. Seperti handphone cina yang marak di Indonesia meniru gaya handphone Blackberry atau I-phone, tentu saja kualitas tetap disamaratakan tidak bagus dibanding handphone asli tesebut.
Pemerintah dianggap kebakaran jenggot akibat membanjirnya produk-produk China di pasar dalam negeri. Langkah pengamanan pasar bagi industri lokal seperti Bea Masuk Tindakan Pengamanan (BMTP) oleh Kementerian Perdagangan hanya sebatas mau menunjukan kinerja saja. sudah sejak lama pelaku usaha di dalam negeri menghendaki revisi perdagangan bebas ASEAN China Free Trade Agreement (ACFTA). Namun sayangnya pemerintah tak menghiraukan suara pelaku industri lokal. “Kita bukan menolak ACFTA tapi kita minta direvisi saja,” Langkah pemerintah mengajak investor China untuk berinvestasi ke dalam negeri suatu hal yang sangat sulit. Menurutnya, China sebagai negara industri tahu benar apa yang menjadi kepentingannya.
Seperti produk lokal alas kaki di Indonesia, tanpa perasaan Cina telah membuat para perusahaan gulung tikar dan terpaksa harus memberhentikan sebagian karyawannya karena barang lokal kurang diminati oleh konsumen lokal.
Memang begitu sulit membedakan produk lokal dengan produk cina karena produk cina membuat dengan merek bernuansa lokal. Seperti batik cina yang banyak menyerupai batik pekalongan.
Dengan begitu, akan muncul dampak dan bertambah pula penjual lokal yang menjual produk cina dipasaran karena mereka berpendapat “menjual produk cina cepat laris, sehari sepatu yang dijual dapat habis 50 buah per hari dan akan meraih keuntungan yang banyak jika dijual dengan harga tinggi”.
Dengan begitu, akan bertambah pula tingkat pengangguran karena banyak perusahaan yang memberhentikan tenaga kerja karena perusahaan tersebut kalah saing dengan produk cina yang marak dan menguasai pasar Indonesia.
Padahal kalau kita lebih berfikir panjang seharusnya dari awal pertama kita tanamkan nasionalisme diri di setiap individu masing-masing. Dan melihat kualitas yang ditawarkan seimbang dengan harga yang dijual. Apakah bangsa Indonesia akan merasa senang jika harus menggunakan produk luar negeri? Dan menciptakan impor di Indonesia defisit terhadap Cina. Lalu bagaimana kita bisa bersaing di pasar global, apakah kita bisa meniru apa yang telah dilakukan oleh Negara China dalam meningkatkan pemberdayaan UKM usaha home industri guna meningkatkan kemakmuran rakyatnya? Bayangkan saja semua kebutuhan kita ada dibuat oleh mereka, padahal kita pun bisa melakukannya jika ada yang menyuarakan untuk membuatnya, Ada yang memberikan pengaturan untuk membuat semua jenis produk dengan home industri dan bisa dipakai sendiri maupun di ekspor, Ya Seperti yang dilakukan bangsa China tersebut.
Indonesia Harus Bisa Mengambil Pelajaran dari Cina
Semua ini berawal dari 4 Nov 2002, saat Indonesia menandatangani Asean-China Free Trade Area (ACFTA). Januari ini, 83% dari 8738 produk impor China akan bebas masuk ke pasar Indonesia tanpa dikenai BM. Padahal China sudah menjadi raksasa ekonomi dunia (peringkat ke 3 dibelakang USA dan Jepang). Ekonomi China berkembang 10 kalilipat dalam 30 tahun terakhir melibas Jerman. Diprediksi 3-4 tahun lagi China menyamai Jepang. Dari dulupun produk China yang terkenal murah sejatinya sudah membuat pebisnis lokal ketar-ketir , apalagi sekarang yang tanpa BM. Industri yang paling terkena imbas adalah tekstil ( China tumbuh 10 kali lipat dari Indonesia) dan alas kaki. Lihat saja perajin tradisional di Pekalongan dan Pasar Klewer Solo. Ketika batik China masuk tahun 2008 saja sudah terjadi penurunan omzet. Kini perajin yang biasanya bekerja secara home industry makin resah karena tekstil China, terutama dengan bahan sutra bermotif batik, mirip dengan batik Pekalongan, dijual lebih murah dan berkualitas bagus. Mengapa produk China berharga murah dan semakin bagus kualitasnya? Kenali lawanmu dan kenali dirimu. Untuk mengenal lawan, amati sisi technical dan sisi human social-nya. Sisi technical Pertama , China unggul di 12 faktor kompetisi bisnis (GCI China di 29, Indonesia di 54) . kecuali faktor efisiensi pasar barang dan jasa. China menang telak di faktor: sistem birokrasi yang cepat-tepat (dibanding korupsi dan lambatnya pelayanan umum di Indonesia), infrastruktur (bandingkan di Indonesia yang jalanannya super macet, buruknya penanganan di pelabuhan dan uang siluman), stabilitas ekonomi, inovasi bisnis, efisiensi tenaga kerja dan ukuran pasar (sehingga mampu mencapai economies of scale). Belum lagi masalah byarpet energi listrik yang akhirnya menjadi penghalang ekonomi biaya murah. Kedua, China menerapkan strategi "Reverse Engineering” atau imitasi, sehingga dapat mengurangi biaya R & D, serta dapat memproduksi barang yang bervariasi dalam waktu singkat. Patut diduga China punya sejenis pemusatan business intelligence. Ketiga, adanya tax free policy selama 3 tahun pertama untuk perusahaan joint venture, subsidi 13.5% dari pemerintahan lokal dalam bentuk tax refund , pinjaman bank yang hanya 3%/tahun, serta banyak industri pendukung sehingga industri China tidak perlu mengimport barang. Mata uang Yuan yang dipatok terhadap USD jelas membuat harga ekspor barang China menjadi sangat murah. Keempat, system politik di China yang lebih terbuka dan sudah tidak memberangus kritik lagi sehingga mendorong continuous improvement. Contohnya ada pertemuan tahunan yang disebut Chinese Economists Society. Sisi human-sosial Pertama, adanya networking keluarga. Marga dan nama sangat membuka peluang kerja sama. Pebisnis China bisa menekan biaya marketing karena mereka menggunakan networking ini untuk promosi. Kedua, Ada trust antar pedagang, terutama kredit yang dilandai oleh Guanxi (hubungan). Guanxi ini tidak hanya pada keluarga saja , tetapi juga kesamaan asal daerah, sekolah dan persahabatan. Trust ini lebih penting dari secarik kertas yang berisi kontrak, hitam atas putih. Cara ini bisa menekan biaya peminjaman dana dari bank. Ketiga, investasi luar biasa di sektor pendidikan . Di 1998, 3,4 juta pelajar masuk ke universitas. 4 tahun kemudian, pendaftaran universitas naik 165% dan siswa China yang keluar negeri naik 152%. Setelah lulus mereka kembali dan membangun negerinya. Walau awalnya hanya menjadi pabrik outsourcing, namun karena SDMnya sudah menguasi teknologi, tak heran perusahaan China seperti Lenovo bisa membeli IBM Thinkpad; Huawei mengancam Cisco dan Ericsson; Haier mengejar GE, Whirlpool dan Maytag. Keempat, walau upah tenaga kerja hampir sama, buruh China bekerja lebih efisien (China di peringkat 32 ,Indonesia di 75 dari 133 negara). Produktivitas pekerja China naik 6%/tahun (1978 – 2003). 1 produk butuh 1 pekerja di China namun 3 pekerja di Indonesia .Tukang batu di China memang benar-benar tukang batu tulen sementara di Indonesia tukang batu adalah petani yang menganggur. Kita sebaiknya bisa belajar dari kesuksesan Cina mengembangkan dunia usaha dan industrinya. Hal ini jauh lebih baik ketimbang hanya menggerutu melihat produk-produk Cina yang membanjiri pasar dalam negeri. Merajalelanya produk-produk Cina dengan harga yang murah dan berkualitas harus dilihat tidak hanya sebagai ancaman, namun juga sebagai pemicu agar Indonesia bisa bergerak ke arah perbaikan. Pada kesempatan ini penulis dengan keterbatasan kapasitas yang dimiliki akan mencoba merumuskan beberapa masukan berupa langkah yang sebaiknya kita tempuh berkaitan dengan apa yang telah dilakukan dan diraih oleh Cina. Pertama, yaitu kita harus mencoba mengkaji kebijakan-kebijakan Cina dalam perekonomian khususnya dalam memajukan dunia usahanya. Setelah itu dirumuskan manakah yang bisa dan tepat untuk diterapkan di Indonesia. Hal ini mengingat keadaan , latar belakang, dan budaya Cina yang tidak sama dengan Indonesia. Langkah kedua yang bisa ditempuh adalah dengan mempererat hubungan kerja sama dengan Cina, tidak saja dalam ekonomi namun juga pada bidang-bidang lainnya yang dianggap penting. Dalam bidang ekonomi dan keamanan misalnya dengan membuat nota kesepahaman tentang kerjasama dalam penanganan penyelundupan di kedua negara. Bentuk kerjasama yang lain misalnya adalah dengan melakukan sinergi industri antara kedua negara. Seperti yang sudah berjalan pada industri lilin antara Indonesia dan Cina, dimana terdapat kesepakatn tidak tertulis dalam pembagian fokus industri, dengan pembagian industri hulu dan menegah yang ditangani Indonesia sedangkan hilir dipegang oleh Cina. Ketiga, adalah dengan menciptakan budaya wirausaha di Indonesia. Hal ini bisa dilakukan dengan meniru langkah pemerintah Cina dengan kebijakan-kebijakannya dalam merangsang munculnya para pengusaha-pengusaha baru. Akan tetapi apabila dilihat lebih cermat, sebenarnya yang menjadi masalah utama di Indonesia terletak pada paradigma berpikir masyarakatnya. Di Indonesia hampir tidak ada kita kita lihat keinginan yang besar dari kalangan terdidik untuk menjadi pengusaha. Penyebabnya bisa jadi karena malas dan takut mengambil resiko untuk berjuang dari nol apabila menjadi pengusaha. Masyarakat kita juga pada umumnya menaruh simpati yang lebih besar pada profesi-profesi yang secara praktis terlihat ekslusif, seperti dokter, akuntan, dan pengacara dibanding dengan wirausaha. Keadaan ini lebih diperburuk dengan sistem pendidikan kita yang cenderung mengabaikan pelajaran tentang kewirausahaan dan kepemimpinan. Hal ini sangat berkebalikan dengan budaya wirausaha yang sangat kental dari penduduk Cina.Langkah keempat adalah dengan memaksimalkan peran akademisi yaitu peneliti untuk menunjang dunia usaha. Selama ini diantara banyak kendala dunia usaha kita terutama UKM, yang paling besar adalah dari sisi teknologi dan metode yang tidak efisien dan jauh tertinggal dari pesaingnya di luar negeri. Untuk itu kiranya para peneliti mau turun dari menara gading untuk mau membantu penelitian industri-industri di Indonesia. Sudah saatnya penelitian yang dilakukan bisa lebih membumi sehingga dapat juga dinikmati oleh industri-industri kecil dan menengah. Cara mengatasinya Langkah awalnya adalah: analisa Core Competency anda. Kenali dirimu berarti kita harus mengetahui betul apa Core Competency yang kita miliki namun tidak dimiliki China. Hati-hati: Core Competency tidaklah sama dengan sumber daya yang kita miliki, seperti pertambangan, perkebunan/pertanian, properti, dan infrastruktur (menurut banyak pakar masih bisa bersaing dengan China). Sektor perkebunan misalnya, memang Indonesia memiliki luas lahan yang besar, namun outputnya perlu digenjot agar lebih Valuable , Rare, Costly to imitate dan Non substitutable. Karenanya diperlukan Strategic Management Audit oleh pihak ketiga agar anda tahu persis kekuatan dan kelemahan yang eksis di perusahaan. Lalu hadapi strategi harga murah China dengan 4 cara. Yang pertama adalah melalui strategi harga lebih murah dari China, yakni menggunakan cara cloner, imitator , adapter (yang meniadakan biaya R&D), dan relokasi pabrik. Cara kedua : meningkatkan diferensiasi seperti after sales service yang lebih baik misalnya garansi uang kembali, produk yang berdasarkan kebudayaan asli Indonesia, hassle free experience, atau specialization yang memanjakan konsumen terutama di sektor jasa. Penulis menemukan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang gampang tersenyum dibanding bangsa lain. Senyum lepas khas Indonesia ini sebenarnya juga bisa digunakan sebagai diferensiasi. Cara ketiga adalah inovasi produk yang lebih murah tetapi cukup berkualitas dengan Blue Ocean Strategy. Cara keempat, strategy positioning “ada harga ada rupa”. Produk makananan China dikenal berbahaya: mainan anak beracun, komestiknya mengandung merkuri, susu mengandung melamin, perhiasan imitasi China mengandung logam berat kadmium. Banyak yang bilang kain batik asal China, memang murah tetapi motifnya tidak bagus, kasar, dan kainnya kalau dipakai terasa panas di badan, sedangkan kain batik di Solo motifnya cukup bagus, begitu juga kualitasnya. Tentunya mengenal karakteristik pembeli sangat membantu dalam penentuan strategi. Pembeli dapat dibagi menjadi tiga golongan yakni: Premium ( yang mementingkan kualitas, gengsi, lifestyle dan tidak ada masalah dengan harga ), Value for Money ( yang mencari perbandingan terbaik antara kualitas yang didapat dan uang yang dikeluarkan ) dan Economy ( harga adalah segalanya, kualitas menyusul ). Nah, produk China sebenarnya lebih diterima oleh pembeli Economy dan Value for Money. Yang jelas pembeli Premium tidak akan terpengaruh oleh produk China ini. Terakhir, perkuat “gotong royong” dan “tolong menolong”. Dayagunakan jalinan kekeluargaan, kedaerahan, dan alumni untuk membangun social capital seperti di China. Selain itu tentunya pemerintah juga harus berperan lebih aktif membantu industri dalam negeri melalui: strategi non tariff seperti pengetatan seluruh SNI (Standar Nasional Indonesia), label halal, mendayagunakan KADI (Komite Anti Dumping), KPPI (Komite Pengamanan Perdagangan. Juga membatasi eksport energi untuk memenuhi kebutuhan energi dalam negeri, kebijakan fasilitas pajak, reformasi birokrasi dan perbaikan infrastruktur. |
0 komentar:
Posting Komentar