Alhamdulillah penulis mengucapkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan taufiq dan
karunia-NYA, sehingga makalah ini dapat
diselesaikan dengan baik. Dan tidak lupa pula shalawat dan salam kita sampaikan
keharibaan Nabi Besar Muhammad SAW yang
telah mengantarkan kita dari alam jahiliyah kepada alam yang berilmu
pengetahuan.
Dan tidak lupa kami berterima
kasih kepada dosen pembimbing mata kuliah Ecotourism, Ibu Deinta, yang telah mendukung kami dalam
menyelesaikan makalah kami. Adapun tujuan dibuatnya makalah ini adalah untuk memenuhi
tugas penelitian dan pengembangan mengenai taman nasional di Indonesia dan sebagai praktek Ujian Akhir Semester
dalam mata kuliah Ekowisata.
Terakhir, penulis secara terbuka mengakui
berbagai informasi dalam makalah ini tidak luput dari kekeliruan dan
kekurangan. Oleh karena itu, kritik dan saran para pembaca sangat diharapkan.
Jakarta, 18 Mei 2012
Ryan Permata Putri
DAFTAR ISI
Cover 1
Kata Pengantar 2
Daftar Isi 3
BAB 1 Pendahuluan
4
BAB 1 Abstrak 4
BAB 2
A.
Latar
Belakang 5
B.
Sejarah
TNKM 8
C.
Objek Wisata Menarik
di TNKM 8
D.
Keistimewaan 9
E.
Aksesbilitas 9
F.
Flora
dan Fauna 9
G.
Budaya 10
BAB 3 Perencanaan
Zonasi TNKM 11
BAB 4 Penataan Batas TNKM 16
Kesimpulan 22
INTEGRASI PENGEMBANGAN TAMAN NASIONAL KAYAN
MENTARANG SERTA PENATAAN BATAS
PARISIPATIFDI KAWASAN HUTAN PRIMER DAN HUTAN SEKUNDER DALAM RANGKA KONSERVASI
ALAM
Ryan Permata
Putri ¹) Usaha Perjalanan Wisata 2011
BAB I
Abstrak
Paper ini membahas mengenai integrasi
pengembangan taman nasional kayan mentarang serta penataan batas partisipatif di
kawasan hutan primer dan hutan sekunder dalam rangka konservasi alam. Kawasan
Taman Nasional Kayan Mentarang (TNKM) memiliki luas ±1,36 juta ha dan berada
dalam 11 wilayah adat di Kabupaten Nunukan dan Malinau, Kalimantan Timur. Untuk
menciptakan pengelolaan hutan yang lestari dengan wilayah yang cukup luas, maka
TNKM memerlukan sistem pengelolaan secara zonasi. Dalam rangka pengelolaan kolaboratif
di Taman Nasional Kayan Mentarang (TNKM), deliniasi buffer zone dianalisis
melalui 2 pendekatan, yakni pendekatan Sosio-ekonomi masyarakat dan pendekatan
ekologi-lanskap. Sampai tahun 2009, proses penataan batas TNKM secara
partisipatif telah selesai di delapan wilayah adat (dari 11 wilayah adat yang
ada di TNKM), dan telah disetujui oleh semua para pihak yang ada. Kegiatan ini
merupakan bagian dari program FORCLIME-GTZ (Kerjasama Pemerintah Indonesia
(Kementerian Kehutanan)-Jerman(GTZ), komponen 3, sub-componen TN Kayan
Mentarang), yang diimplementasikan oleh WWF Indonesia.
PENDAHULUAN
Dengan luasan
sekitar 1,36 juta ha, Taman Nasional Kayan Mentarang (TNKM)
yang ditunjuk sesuai
Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 631/Kpts-II/1996 merupakan kawasan
dilindungi terluas di Kalimantan, dan merupakan salah satu
yang terluas di
Asia Tenggara. Terletak
di Kabupaten Malinau dan
Nunukan, Propinsi Kalimantan Timur dan sudah dihuni oleh
masyarakat adat sejak ratusan tahun lalu. Ada ± 34.508 jiwa yang tinggal di
sekitar kawasan TN Kayan Mentarang. Mereka tersebar dalam
11 wilayah adat besar
yang memiliki ketergantungan erat
terhadap kawasan hutan dan
secara turun temurun
telah memiliki kearifan
tradisional dalam pengelolaan kawasan hutan yang diwujudkan dalam
hutan adat, tana
ulen, dll. Atas
dasar demikian pengelolaan TNKM dilakukan secara kolaboratif dan menjadi
model taman nasional kolaboratif pertama di Indonesia yang melibatkan masyarakat dalam
pengelolaan kawasan taman nasional.
Sebagai Supervisory body maka dibentuk Dewan
Pembina dan Pengendali
PengelolaanKolaboratif (DP3K)
TNKM berdasarkan Kepmenhut 374/Kepts-II/2007.
Disamping itu,
karena kondisi sosial, budaya dan ekonomi serta kekhasan bentang alamnya, maka
pada tanggal 5 Juli 2005 Pemda Malinau mendeklarasikan diri sebagaiKabupaten
Konservasi dan telah menjadi Peraturan Daerah Kabupaten Malinau No. 4 tahun
2007. Sehingga pengelolaan pembangunan disesuaikan dengan kaidah-kaidah
konservasi yang bertujuan menjamin kelestarian sumberdaya hutan yang ada namun
disisi lain pembangunan tersebut juga mampu untuk meningkatkan
taraf hidup bagi masyarakat
dan memberikan kontribusi pendapatan
kepada pemerintah Kabupaten
BAB II
PEMBAHASAN
Ø Latar Belakang
Taman Nasional Kayan
Mentarang , kawasan wisata alam meliputiPantai Pulau Datok dan Bukit Lubang
Tedong, Gunung Palung , Gunung Panti ,Cabang
Panti, Kampung Baru, Sungai Matan dan Sungai Simpang,dengan
luasnya 1.360.500 hektar, merupakan suatu kesatuan kawasan hutan primer dan
hutan sekunder tua yang terbesar dan masih tersisa di Kalimantan dan seluruh
Asia Tenggara.
Taman Nasional Kayan
Mantarang memiliki keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa bernilai tinggi baik
jenis langka maupun dilindungi, keanekaragaman tipe ekosistem dari hutan hujan
dataran rendah sampai hutan berlumut di pegunungan tinggi. Keanekaragaman hayati
yang terkandung di Taman Nasional Kayan Mentarang memang sangat mengagumkan.
Pengamatan tumbuhan
pulai , jelutung , ramin , Agathis , kayu ulin , rengas , gaharu , aren ,
berbagai jenis anggrek, palem, dan kantong semar. Selain itu, ada beberapa jenis
tumbuhan yang belum semuanya dapat diidentifikasi karena merupakan jenis
tumbuhan baru di Indonesia. serta mamalia endemik, primata (Beberapa jenis
mamalia langka seperti macan dahan, beruang madu, lutung dahi putih ,banteng)
dan beberapa jenis burung terancam punah.
Sungai-sungai yang ada
di Taman Nasional Kayan Mantarang seperti S. Bahau, S. Kayan dan S. Mentarang
digunakan sebagai transportasi menuju kawasan. Selama dalam perjalanan, selain
dapat melihat berbagai jenis satwa yang ada di sekitar sungai, juga dapat
melihat kelincahan longboat dalam melewati jeram, ataupun melawan arus yang
cukup deras.
Keberadaan sekitar
20.000-25.000 orang dari berbagai kelompok etnis Dayak yang bermukim di sekitar
kawasan Taman Nasional Kayan Mantarang seperti Kenyah, Punan, Lun Daye, dan Lun
Bawang, ternyata memiliki pengetahuan kearifan budaya sesuai dengan prinsip
konservasi. Hal ini merupakan salah satu keunikan tersendiri di Taman Nasional
Kayan Mentarang. Keunikan tersebut terlihat dari kemampuan masyarakat melestarikan
keanekaragaman hayati di dalam kehidupannya. Sebagai contoh berbagai varietas
dan jenis padi terpelihara dan terkoleksi dengan cukup baik untuk menunjang
kehidupan masyarakat sehari-hari.
Banyak peninggalan
arkeologi berupa kuburan dan alat-alat dari batu yang terdapat di taman
nasional (umurnya lebih 350 tahun), dan diperkirakan merupakan situs arkeologi
yang sangat penting di Kalimantan.
Kawasan TNKM terletak
pada ketinggian antara 200 meter sampai sekitar ±2.500 m di atas permukaan
laut, mencakup lembah-lembah dataran rendah, dataran tinggi pegunungan, serta
gugus pegunungan terjal yang terbentuk dari berbagai formasi sedimen dan
vulkanis.
Tipe-tipe utama adalah
hutan Dipterokar, hutan Fagaceae-Myrtaceae atau hutan Ek, hutan pegunungan
tingkat tengah dan tinggi (di atas 1.000 m di atas permukaan laut), hutan
agathis, hutan kerangas, hutan rawa yang terbatas luasnya, serta suatu tipe
khusus “hutan lumut” dipuncak-puncak gunung diatas ketinggian 1.500 m di atas
permukaan laut. Selain itu, terdapat pula berbagai jenis hutan sekunder. Hutan
di wilayah sepanjang sungai Bahau adalah hutan perbukitan dengan tebing-tebing
terjal yang sangat sulit untuk didaki dari tepi sungai. Hutan di wilayah ini
memiliki banyak sekali air terjun dari berbagai ukuran, alur aliran air terjun
yang berukuran kecil mempunyai tepi sungai yang cukup landai dan dipergunakan
oleh masyarakat sekitar untuk memasuki hutan di kawasan ini. Pujungan juga
dikenal sebagai daerah di mana matahari tidak pernah terbit dan tidak pernah
tenggelam sebab sering tertutup oleh kabut atau awan. Walaupun demikian,
pendarnya sinar matahari dari balik kabut atau awan tersebut mampu membuat kulit
kita memerah terbakar tanpa merasakan teriknya panas matahari karena cukup
dinginnya suhu di daerah ini. Dapat dibayangkan dinginnya suhu di daerah Apau
Ping di hulu Pujungan.
Bukan seperti pada
umumnya sungai yang berasal dari 1 mata air di daerah hulu pegunungan yang
kemudian mengalir bercabang-cabang ke hilir hingga menuju ke muara,
sungai-sungai di taman nasional Kayan Mentarang berasal dari banyak mata air di
banyak hulu daerah pegunungan dan mengalir menjadi 1 sungai yang besar menuju
ke hilir hingga ke muara. Pada wilayah selatan taman nasional terdapat sungai
Kayan yang bermuara setelah membelah kecamatan Tanjung Selor dan Tanjung Palas,
berasal dari belasan mata air di hulu Kayan dan hulu Pujungan. Simpang Koala
adalah area pertemuan antara sungai Bahau dan sungai Kayan adalah batas wilayah
kabupaten Bulungan dan kabupaten Malinau. Arus sungai Kayan di daerah Tanjung
Selor sangat tenang dan mulai bergejolak saat memasuki wilayah Long Lejau. Arus
sungai Bahau sangat bervariasi dari ketenangan yang tidak berarus hingga
gejolak arung jeram. Masyarakat Dayak hulu Pujungan memberi sebutan sungai
Bahau sebagai sei giram yang berarti sungai berbatu yang berarus deras. Dan
masyarakat di daerah ini adalah pengemudi-pengemudi perahu yang ulung dan
kompak. Sungai Bahau pada daerah Long Aran mempunyai ketinggian air paling
rendah dan sering menyebabkan para pengemudi perahu serta kepolisian setempat
bahu-membahu menarik perahu kandas yang mempunyai panjang bisa mencapai hingga
20 meter itu beramai-ramai. Profil bebatuan di kedua sungai ini juga
berbeda, profil bebatuan yang dijumpai pada sungai Kayan mulai daerah
Tanjung Selor hingga Simpang Koala, dan profil bebatuan di sungai Bahau
yang ditemui sejak area Simpang Koala hingga hulu Pujungan.
Ø Sejarah Taman Nasional
Kayan Mentarang
Taman Nasional
Kayan Mentarang (TNKM) termasuk Cagar
Alam , TNKM memiliki kawasan hutan primer dan skunder tua terbesar yang masih
tersisa di Pulau Borneo dan kawasan Asia Tenggara.
Nama Kayan Mentarang diambil dari dua nama sungai penting yang ada di kawasan taman nasional, yaitu Sungai Kayan di sebelah selatan dan Sungai Mentarang di sebelah utara ada juga mengatakan nama ini diambil dari nama dataran tinggi / plato di pegunungan setempat yang bernama Apau Kayan yang membentang luas (mentarang) dari daerah Datadian / Long Kayan di selatan melewati Apau Ping di tengah dan Long Bawan di utara.
Hamparan hutan ini membentang di bagian utara Provinsi Kalimantan Timur, tepatnya di wilayah Kabupaten Malinau, Kabupaten Nunukan dan Kabupaten Bulungan, berbatasan langsung dengan Sabah dan Sarawak, Malaysia. Sebagian besar kawasan masuk dalam Kabupaten Malinau dan sebagian lagi masuk dalam Kabupaten Nunukan. Potensi wisata di Taman Nasional Kayan Mentarang ialah Hulu Pujungan, Hulu Krayan dan Hulu Kayan/Datadian.
Ø Objek Wisata Menarik
di Taman Nasional Kayan Mentarang
Beberapa lokasi atau obyek
yang menarik untuk dikunjungi:
Pantai Pulau Datok dan Bukit Lubang Tedong. Wisata bahari dan berenang
Gunung Palung (1.116 m. dpl) dan Gunung Panti (1.050 m. dpl). Pendakian, air terjun, pengamatan tumbuhan/satwa dan berkemah.
Cabang Panti. Pusat penelitian dengan fasilitas stasiun penelitian, wisma peneliti dan perpustakaan.
Kampung Baru. Pengamatan satwa bekantan.
Sungai Matan dan Sungai Simpang. Menyelusuri sungai, pengamatan satwa dan wisata budaya (situs purbakala).
Pantai Pulau Datok dan Bukit Lubang Tedong. Wisata bahari dan berenang
Gunung Palung (1.116 m. dpl) dan Gunung Panti (1.050 m. dpl). Pendakian, air terjun, pengamatan tumbuhan/satwa dan berkemah.
Cabang Panti. Pusat penelitian dengan fasilitas stasiun penelitian, wisma peneliti dan perpustakaan.
Kampung Baru. Pengamatan satwa bekantan.
Sungai Matan dan Sungai Simpang. Menyelusuri sungai, pengamatan satwa dan wisata budaya (situs purbakala).
Ø Keistimewaan
Keanekaragaman hayati
bernilai tinggi dan masih alami, merupakan tantangan bagi para peneliti untuk
mengungkapkan dan mengembangkan pemanfaatannya. Disamping itu keindahan alam
hutan, sungai, tebing, kebudayaan suku Dayak merupakan daya tarik yang sangat
menantang bagi para petualang dan wisatawan.
Ø Aksesbilitas
Kunjungan terbaik:
bulan September s/d Desember setiap tahunnya.
Cara pencapaian lokasi :Cara pencapaian lokasi: Dari Samarinda ke Tarakan (plane) sekitar satu jam, dilanjutkan menggunakan speed boat/klotok menyusuri sungai Mentarang ke lokasi dengan waktu enam jam sampai satu hari.
Cara pencapaian lokasi :Cara pencapaian lokasi: Dari Samarinda ke Tarakan (plane) sekitar satu jam, dilanjutkan menggunakan speed boat/klotok menyusuri sungai Mentarang ke lokasi dengan waktu enam jam sampai satu hari.
Ø Flora dan Fauna
Beberapa tumbuhan yang
ada antara lain pulai (Alstonia scholaris), jelutung (Dyera costulata),
ramin (Gonystylus bancanus), Agathis (Agathis borneensis), kayu
ulin (Eusideroxylon zwageri), rengas (Gluta wallichii),
gaharu (Aquilaria malacensis), aren (Arenga pinnata), berbagai
jenis anggrek, palem, dan kantong semar. Selain itu, ada beberapa jenis
tumbuhan yang belum semuanya dapat diidentifikasi karena merupakan jenis
tumbuhan baru di Indonesia.
Terdapat sekitar 100 jenis mamalia (15 jenis diantaranya endemik), 8 jenis primata dan lebih dari 310 jenis burung dengan 28 jenis diantaranya endemik Kalimantan serta telah didaftarkan oleh ICBP (International Committee for Bird Protection) sebagai jenis terancam punah.
Beberapa jenis mamalia langka seperti macan dahan (Neofelis nebulosa), beruang madu (Helarctos malayanus euryspilus), lutung dahi putih (Presbytis frontata frontata), dan banteng (Bos javanicus lowi). Jenis flora yang dilaporkan ada dalam kawasan ini di antaranya termasuk ratusan jenis anggrek dan sedikitnya 25 jenis rotan. Selain itu juga telah berhasil diinventaris ratusan jenis burung termasuk jenis baru untuk Kalimantan dan Indonesia, jenis endemik dan jenis yang hampir punah. Beberapa jenis yang menarik diantaranya adalah jenis Enggang, Kuau Raja, Sepindan Kalimantan dan jenis-jenis Raja Udang.
Terdapat sekitar 100 jenis mamalia (15 jenis diantaranya endemik), 8 jenis primata dan lebih dari 310 jenis burung dengan 28 jenis diantaranya endemik Kalimantan serta telah didaftarkan oleh ICBP (International Committee for Bird Protection) sebagai jenis terancam punah.
Beberapa jenis mamalia langka seperti macan dahan (Neofelis nebulosa), beruang madu (Helarctos malayanus euryspilus), lutung dahi putih (Presbytis frontata frontata), dan banteng (Bos javanicus lowi). Jenis flora yang dilaporkan ada dalam kawasan ini di antaranya termasuk ratusan jenis anggrek dan sedikitnya 25 jenis rotan. Selain itu juga telah berhasil diinventaris ratusan jenis burung termasuk jenis baru untuk Kalimantan dan Indonesia, jenis endemik dan jenis yang hampir punah. Beberapa jenis yang menarik diantaranya adalah jenis Enggang, Kuau Raja, Sepindan Kalimantan dan jenis-jenis Raja Udang.
TNKM juga merupakan habitat bagi banyak jenis satwa dilindungi seperti banteng
(Bos javanicus), beruang madu (Helarctos malayanus), trenggiling
(Manis javanica), macan dahan (Neofelis nebulosa), landak (Hystrix
brachyura), dan rusa sambar (Cervus unicolor). Pada musim-musim tertentu
di padang rumput di hulu Sungai Bahau, berkumpul kawanan banteng yang muncul
dari kawasan hutan disekitarnya dan menjadi sebuah pemandangan yang menarik
untuk disaksikan.
Ø Budaya
Di dalam dan di
sekitar TNKM ditemukan beraneka ragam budaya yang merupakan warisan budaya yang
bernilai tinggi untuk dilestarikan. Sekitar 21.000 orang dari bermacam etnik
dan sub kelompok bahasa, yang dikenal sebagai suku Dayak, bermukim didalam dan
disekitar taman nasional. Komunitas Dayak, seperti suku Kenyah, Kayan, Lundayeh,
Tagel, Saben dan Punan, Badeng, Bakung, Makulit, Makasan mendiami sekitar 50
desa yang ada didalam kawasan TNKM.
Ditemukannya kuburan
batu di hulu Sungai Bahau dan hulu Sungai Pujungan, yang merupakan peninggalan
suku Ngorek, mengindikasikan bahwa paling tidak sejak kurang lebih 400 tahun
yang lalu masyarakat Dayak sudah menghuni kawasan ini. Peninggalan arkeologi
yang paling padat ini diperkirakan sebagai peninggalan yang paling penting
untuk pulau Borneo.
Masyarakat di dalam
kawasan taman nasional masih sangat bergantung pada pemanfaatan hutan sebagai
sumber penghidupan, seperti kayu, tumbuhan obat, dan binatang buruan. Mereka
juga menjual tumbuhan dan binatang hasil hutan, karena hanya ada sedikit
peluang untuk mendapatkan uang tunai. Pada dasarnya masyarakat mengelola sumber
daya alam secara tradisional dengan mendasarkan pada variasi jenis. Sebagai
contoh banyak varietas padi ditanam, beberapa jenis kayu digunakan untuk bahan
bangunan, banyak jenis tumbuhan digunakan untuk obat, dan berbagai jenis satwa
buruan.
BAB III
Ø Perencanaan Zonasi Taman Nasional Kayan
Mentarang
Kawasan TNKM dan
Kawasan Masyarakat Adat
Pada
tanggal 7 Oktober 1996, Menteri Kehutanan melalui Keputusan Menteri Kehutanan
Nomor: 631/Kpts-II/1996 merubah fungsi status Kayan Mentarang dari Cagar Alam
menjadi Taman Nasional
Kayan Mentarang (TNKM). TNKM termasuk salah satu taman
nasional yang melakukan inovasi
dalam proses penyusunan
zonasi. Inovasi yang dimaksud
adalah memadukan kepentingan
konservasi dengan kepentingan masyarakat
adat dalam perencanaan zonasi TNKM.
Kawasan TNKM
berada dalam 11
wilayah adat (Krayan Hulu,
Krayan Tengah, Krayan
Hilir, Krayan Darat, Pujungan, Hulu
Bahau, Mentarang Hulu,
Lumbis Hulu, Tubu, Apau
Kayan-Kayan Hilir dan Kayan Hulu).
Mereka masih memiliki ketergantungan erat terhadap kawasan hutan dan
secara turun temurun telah memiliki kearifan tradisional dalam pengelolaan
kawasan hutan yang diwujudkan dalam hutan adat.. Kawasan ini dihuni oleh
sekitar 34.500 warga suku Dayak dari 6
sub-suku Dayak yaitu suku
Kenyah, Lundayeh, Abai/Tagel, Sa’ban, Punan dan Kayan sejak 350 tahun
yang lalu.
Memadukan
Kepentingan Konser vas i danKepentingan Masyarakat
Berdasarkan
Peraturan Menteri Kehutanan NomorP.56/Menhut-II/2006 tentang
pedoman zonasi taman nasional, yang
dimaksud dengan zonasi
taman nasional adalah suatu
proses pengaturan ruang dalam taman nasional menjadi zona-zona, yang mencakup
kegiatan tahap persiapan, pengumpulan dan analisis data, penyusunan draft
rancangan zonasi, konsultasi publik, perancangan, tata batas, dan penetapan,
dengan mempertimbangkan kajian-kajian dari aspek-aspek
ekologis, sosial, ekonomi
dan budaya masyarakat. Zona dalam taman nasional terdiri dari zona inti,
zona rimba, zona pemanfaatan,
dan zona lain (zona tradisional, zona rehabilitasi, zona
religi-sejarah-budaya, dan zona khusus).
Di
lain pihak, masyarakat adat di TNKM sebenarnya sudah memiliki konsep zonasi
berkaitan dengan fungsi-fungsi dan peruntukan lahan di wilayah adat. Peruntukan ruang atau penggunaan lahan
wilayah adat telah
dialokasikan sesuai fungsi lahan
yaitu untuk perlindungan, pertanian/budidaya dan produksi dengan mempertimbangkan
kriteria ekologi, ekonomi, sosial dan
perencanaan pembangunan ke depan.
Wilayah
adat di Taman Nasional Kayan Mentarang
Dengan
mempertimbangkan pola pendekatan sistim zonasi dan kondisi istimewa
TNKM, maka tim kecil menghasilkan
kriteria dan indikator
zonasi dengan usulan 3 (tiga) area
dalam kawasan TNKM
sebaai berikut:
1. Areal “publik” yakni zona inti;
2.
Areal “adat” yakni zona rimba, zona pemanfaatan dan zona tradisional;
3.
Areal “multi-stakeholders” yakni
zona khusus.
Untuk menampung
semua aspirasi masyarakat adat maka pada Oktober tahun 2000 dibentuklah FoMMA
(Forum Musyawarah Masyarakat Adat) sebagai wadah perwakilan masyarakat adat.
Usulan batas
luar kawasan dan
rekomendasi zonasi TNKM (inti dan
pemanfaatan tradisional) telah tertuang dalam
Rencana Pengelolaan Taman
Nasional (RPTN) Kayan Mentarang
2001 – 2025 yang disahkan oleh Menteri Kehutanan melalui SK. Menhut
No.1213/Kpts-II/2002. Di dalam RPTN-TNKM tersebut juga sudah ada uraian
mengenai usulan peraturan
adat dalam pengelolaan TNKM. (zonasi, batas luar,
peraturan, bentuk pengelolaan (Dewan Penentu Kebijakan, Badan pengelola, dll).
Sebagai tindak
lanjut disahkannya RPTN KayanMentarang,
Pada bulan Agusus 2005 sampai
Oktober 2006, FoMMA difasilitasi oleh WWF Indonesia melalui Kerjasama Pemerintah
Indonesia - Jerman
Program Taman Nasional Kayan Mentarang, menyusun pedoman dan proses
perencanaan tata ruang
wilayah adat di beberapa wilayah adat. Konsultasi tentang
tata ruang atau zonasi di kawasan TNKM
terus dilakukan.
Gambar 2.
Perencanaan zonasi TNKM
Rencana Tindak
Lanjut
Sampai saat ini,
penyusunan kriteria dan indikator zonasi TNKM masih dalam tahap pembahasan
analisis final oleh pihak Kemenhut (PHKA), Balai TNKM, WWF Indonesia dan tim
expert dengan dukungan kerjasama FORCLIME-GTZ Kerjasama Indonesia-Jerman,
komponen 3 sub-komponen Taman Nasional Kayan Mentarang). Pelaksanaan
Sosialisasi zonasi di 11 wilayah adat akan selesai di akhir tahun 2010. Hasil
zonasi TNKM diharapkan juga dapat mendorong penyelesaian proses tatabatas TNKM
dan bufferzone TNKM. Seluruh kegiatan ini merupakan target yang akan dicapai
untuk menciptakan pengelolaan taman nasional yang efektifdan efisien dan secara
kolaboratif yang melibatkan banyak pihak.
BAB
IV
Ø Penataan Batas Taman Nasional Kayan Mentarang
Partisipatif
Pada saat
penunjukan Cagar Alam Kayan Mentarang pada tahun 1980 melalui SK. Menteri
Pertanian No.847/Kpts/Um/II/1980 tgl 25-11-1980 seluas ±1,36 Juta Ha ternyata
terdapat penduduk berjumlah ± 34.508 jiwa di dalam dan
sekitar CA Kayan
Mentarang yang tersebar dalam 11 wilayah adat besar dan
memiliki ketergantungan erat
terhadap kawasan hutan.
Secara turun temurun mereka memiliki kearifan tradisional dalam
pengelolaan kawasan hutan yang diwujudkan dalam hutan adat, tana ulen, tanah jakah dll.
Pada tanggal 7
Oktober 1996 Menteri Kehutanan dengan Keputusan
Menteri Kehutanan Nomor: 631/KptsII/1996 merubah fungsi kawasan Kayan
Mentarang dari Cagar Alam menjadi Taman Nasional Kayan Menatarang (TNKM) dengan
luas ±1,36 juta ha, dengan batas yang
sama dengan batas
Cagar Alam. Dengan
demikian kawasan pemukiman, lahan
pertanian dan tanah
adat masyarakat tetap masuk
dalam kawasan TN
Kayan Mentarang. Dalam proses
penataan batas yang
sudah dilakukan oleh BPKH Wilayah IV Samarinda Kalimantan Timur bersama
pengelola TNKM, masyaraka adat yang bermukim di dalam dan sekiar kawasan
TNKM menolak hasil penataan batas sepanjang 497,10 km (dari total 1.238 km)
yang telah dilakukan.
Penataan
tata batas ini
dipandang penting karena
dapat menentukan langkah kebijakan
selanjuntnya. Dengan
kejelasan batas kawasan
di lapangan melalui
tata batas kawasan, maka ada
kepastian hukum terhadap
kawasan TNKM guna memberikan
kemantapan bagi pengelola TNKM dalam
melaksanakan pengelolaan ekosistem kawasan taman nasional dalam rangka
konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Untuk mewujudkan
proses pemantapan kawasan
TNKM yang kuat
maka diperlukan kesamaan cara pandang semua pihak melalui proses yang
partisipatif semua pemangku kepentingan khususnya masyarakat adat
yang ada di 11 wilayah adat besar di dalam dan sekitar TNKM.
Dengan
ditetapkannya Taman Nasional Kayan Mentarang dikelola secara
Kolaboratf melalui Keputusan Menteri Kehutanan Nomor:
1214/Kpts-II/2002 maka proses penataan batas Taman Nasional Kayan Mentarang (TNKM) dilakukan secara
partisipatif dengan melibatkan semua
pihak seperti Departemen
Kehutanan (Balai TNKM & BPKH Wilayah
IV Samarinda Kaltim) bersama Masyarakat
adat dalam Forum Musyawarah Masyarakat Adat (FoMMA),
Pemerintah Kabupaten Malinau
dan Pemerintah Kabupaten Nunukan.Selanjutnya para pihak yang berkepentingan
(Pemerintah Pusat, Pemerintah Propinsi,
Pemerintah Kabupaten, FoMMA,
Perguruan Tinggi dan LSM bergabung dalam wadah DP3K (Dewan Pembina dan
PengendaliPengelolaan Kolaboratif).
Proses tata
batas sejak awal
difasilitasi oleh WWF Indonesia melalui berbagai sumber dana
(Danida, WWF Jerman dll) dan sejak tahun 2006 didukung melalui Proyek Kerjasama
Pemerintah Indonesia (DepartemenKehutanan) dan Jerman (GTZ), dimana WWF-Indonesia
sebagai implementornya.
Ø Tujuan
Prinsip
dasar “Partisipasi Masyarakat” dalam
Proses Tata batas partisiptif
adalah keterlibatan masyarakat
dalam Perencanaan, Pelaksanaan dan Evaluasi. Tujuan dilakukan penataan
batas kawasan partisipatif adalah :
1. Untuk
menghasilkan kawasan hutan
yang aman terhadap konflik
kepentingan jangka panjang dengan menghindari tumpang tindih dengan
kegiatanmasyarakat;
2. Mengenali
proses penataan batas
hutan yang paling akomodatif bagi kepentingan dan
kebutuhanmasyarakat dan Pemerintah;
3. Memprakarsai proses pelibatan masyarakat
secara aktifdalam negosiasi dan tahapan penetapan tata batas;
4. Mendukung
upaya-upaya penyelesaian sengketa
tata batas dan proses
perencanaan pengelolaan kawasan hutan secara kolaboratif.
Ø Proses
Penataan Batas TNKM secara Partisipatif
Penolakan masyarakat
adat terhadap hasil
tata batas membuat penataan batas
versi masyarakat menjadisemakin penting.
Oleh karena itu
WWF Indonesia Program yang telah
bekerja di TNKM sejak tahun 1991, mencoba memfasilitasi dan mendorong
masyarakat dalam pengelolaan kawasan berbasis masyarakat melalui sistem zonasi,
dan pada Tahun 1998 sampai 2002 telah dilakukan proses pemetaan
partisipatif di 65 lokasi
pemukiman sekitar TNKM. Sejak
tahun 1999 dilakukan
konsultasi tatabatas TNKM untuk tahap pertama. Selanjutnya, sejak
bulan Oktober 2004
sampai Januari 2005 dilakukan
serangkaian proses konsultasi tata batas di tingkat wilayah
adat. Kegiatan ini
dilakukan secara bersama-sama
oleh BPKH Wilayah IV Samarinda, BKSDA Kalimantan
Timur dan FoMMA
di beberapa lokasi wilayah adat.
Dari proses
konsultasi tata batas
tahun 1999, BPKH Wilayah IV Samarinda telah berhasil
mengidentifikasi dan mengkonfirmasi usulan batas luar oleh masyarakat adat.
Namun, untuk wilayah adat di Krayan masih belum ada kesepakatan. Hasil
konsultasi tata batas ini kemudian dipresentasikan di Departemen Kehutanan
pada tanggal 30
Juni 2005.Pertemuan ini
dihadiri oleh Kepala
Badan Planologi, Direktur Konservasi
Kawasan Ditjen PHKA,
BPKH Wilayah IV Samarinda Kaltim, BKSDA Kaltim, dan WWF Indonesia. Dalam
pertemuan tersebut, Departemen Kehutanan merekomendasikan agar
proses konsultasi dilakukan di
seluruh wilayah adat, dan diselesaikan
dulu permasalahan di wilayah
Krayan, sebelum pembahasan lebih lanjut oleh Menteri
Kehutanan.
Hasil rekomendasi
tersebut ditindak lanjuti
dengan kegiatan konsultasi tata batas dan pembahasan usulan tata batas
TNKM di beberapa lokasi seperti Long Layu dan Long Bawan.
Salah satu
pertemuan penting yang terjadi selama proses tata batas
adalah Konsultasi Publik
Tata Batas TNKM tanggal 18 – 19 Januari 2007, bertempat
di Long Bawan, Kecamatan Krayan. Beberapa kesepakatan penting yang dibuat
adalah:
- Forum
pertemuan sepakat untuk
mengusulkan agar
kawasan-kawasan berikut; 1)
Lahan pemukiman, (2) Lahan
pertanian (ladang, kebun,
sawah, laman), (3) Lahan potensi untuk pengembangan
pertanian (bekas sawah dan kampung),
(4) Lahan antar
pemukiman sebagai sarana transportasi: dikeluarkan dari kawasan Taman Nasional Kayan Mentarang.
- Kawasan selain (diluar) yang disebutkan dalam
point 1 (pertama) termasuk ke dalam hutan adat yang dikelola oleh
masyarakat adat, dan tetap menjadi
bagian dari zona tradisional Taman Nasional Kayan Mentarang.
Pemanfaatan Zona
tradisional yang dimaksud
adalah sesuai dengan Permenhut
No. 56/2006 tentang Pedoman Zonasi Taman
Nasional.Kesepakatan tersebut ditindak lanjuti dengan melakukan sosialisasi,
pengukuran dan penataan batas, perencanaan trayek batas,
pembuatan peta proyeksi tata
batas, pemancangan batas sementara,
Lokakarya Penguatan Hasil Kesepakatan
dan Padu Serasi
Aturan Adat an Praturan Taman Nasional, dsb.Sampai tahun
2009, proses penataan batas TNKM secara partisipatif telah selesai di delapan
wilayah adat (dari 11 wilayah adat yang ada di TNKM), dan telah disetujui oleh semua
Para pihak yang ada.Pada Juni 2009
DP3K menyampaikan catatan
hasil kesepakatan beserta peta usulan batas
kawasan melalui surat Ketua DP3K
Nomor: 09/DP3K-1/6/2009 tanggal 30 Juni
2009 perihal Perubahan Batas
Kawasan kepada Ketua BAPPEDA
Propinsi Kaltim dengan
tembusan kepada Menteri Kehutanan, Gubernur Kalimantan Timur, Direktur Jenderal
Planologi Kehutanan, Dephut,
dan Ketua Tim Terpadu RTRWP Kaltim, untuk selanjutnya diusulkan kepada Tim Terpadu Revisi RTRWP Kaltim. Sebagai
tindak lanjut dari usulan batas tersebut maka pada tanggal 25 Juli 2009 bertempat
di Hotel Wijaya Malinau diadakan pertemuan Tim Terpadu dalam rangkapengumpulan
data dan informasi serta klarifikasi terhadap Usulan Perubahan Kawasan Hutan
dalam Usulan Revisi RTRWP Kalimantan Timur.
Pada pertemuan
ini secara resmi
disampaikan dan disepakati agar
semua desa dikeluarkan
dari kawasan menjadi APL (Areal
Peruntukan Lainnya) termasuk lahan pertanian (sawah dan ladang dalam siklus
aktif)Selain itu sebagai tindak lanjutnya maka pada tanggal 26 Juli 2009
dilakukan Flyover di seputar
kawasan TNKM untuk melihat
secara langsung pemukiman
yang ada
disekitar TNKM.
Sampai saat ini proses penataan batas TNKM masih menunggu proses revisi tata
ruang Propinsi Kaltim.
Ø Pembelajaran
yang diperoleh
Pengalaman di
TNKM menunjukkan betapa pentingnya partisipasi masyarakat dalam proses tata
batas. Proses tata batas suatu kawasan
konservasi, baik itu
cagar alam maupun taman nasional,
harus memperhatikankepentingan masyarakat lokal/adat yang tinggal dikawasan
tersebut yang kehidupannya tergantung pada hasil hutan dan
sumber daya alam
dan sudah ada
sebelum kawasan ditetapkan menjadi kawasan konservasi. Proses yang
dilakuan di TNKM bisa menjadi contoh bagikawasan konservasi
lain, dimana FoMMA
dan DP3K berperan besar dalam
proses tata batas
partisipatif. FoMMA dan DP3K telah meningkatkan posisi tawar dari masyarakat adat
dalam memperjuangkan kepentingan mereka terhadap
pemerintah. Di sisi
lain pemerintah pusat, dalam hal
ini Ditjen PHKA juga bersikap terbuka terhadap usulan-usulan dari masyarakat adat, yangdisampaikan melalui FoMMA dan DP3K.Lambatnya proses
kegiatan tata batas
baik di tingkat lapangan maupun pusat mengakibatkan
turunnyakepercayaan masyarakat terhadap
proses batas yang sedang berjalan.
Dalam pelaksanaan
proses batas kawasan, pertimbangan kepastian
hukum harus menjadi
dasar pengambilan keputusan,
sehingga jelas mengenai hal-hal yang boleh dan tidak boleh. Hal ini penting
agar tidak menjadi masalah pada saat kesepakatan tersebut akan dilaksanakan.
Ø Follow up
action
Kegiatan yang
sedang dilakukan adalah mendorong agar proses tata batas TNKM baik di tingkat
pemerintah pusat (PHKA) dan pemerintah daerah Malinau dan Nunukan serta masyarakat
adat berjalan dengan
baik dan cepat. Kegiatan tersebut
antara lain, membantu
Tim Terpadu RTRWP Kaltim dalam menyelesaikan proses revisi tata ruang
Kaltim, memfasilitasi pemda dan masyarakat adat untuk mengusulkan batas
TNKM ke PHKA, sosialisasi dan pelatihan
pengukuran tata batas di beberapa wilayah adat di sekitar kawasan TNKM.
KESIMPULAN
TN Kayan
Mentarang, sebagai suatu kawasan konservasi yang memiliki areal sangat
luas dan memiliki sumberdaya manusia
yang terbatas untuk memonitor seluruh kawasan tersebut. Sehingga diperlukan
suatu mekanisme tersendiri yang dapat mengakomodasi kegiatan monitoring kawasan
secara cepat, akurat dan mencakup wilayah yang cukup luas. Selain itu
dengan ditunjuknya kawasan
TNKM sebagai kawasan taman
nasional yang dikelola secara kolaboratif.
Sejak sebelum
ditunjuknya kawasan TNKM
sebagai kawasan konservasi, daerah tersebut sudah dihuni oleh
masyarakat adat dayak
dan sudah mengelola
hutan tersebut secara arif dan bijaksana sehingga tetap utuh sampai sekarang.
Pengelolaan hutan melalui
hutan adat/Tana'Ulen, system perladangan
gilir balik dan pertanian
organik adalah beberapa
contoh sistem pengelolaan kawasan
secara berkelanjutan yang
telah dilakukan oleh masyarakat adat secara turun temurun di kawasan
ini. Kondisi keanekaragaman hayati di TNKM yang
terjaga dari berbagai
ancaman dan gangguan merupakan hasil
dari keikutsertaan masyarakat
adat dalam menjaga hutan dikawasan TNKM dan sekitarnya.
0 komentar:
Posting Komentar