Mengapa
Orang Berwisata?
Ketika kita berbicara tentang konsep “sadar wisata”, pemahaman yang muncul
adalah bahwa masyarakat di suatu wilayah geografis tertentu yang memiliki
potensi untuk dijadikan destinasi pariwisata, ingin menjadikan dirinya sebagai
tuan rumah yang baik bagi wisatawan. Dengan demikian, kita harus memahami
mengapa orang berwisata, apa yang mereka inginkan dari aktivitas tersebut, dan
apa yang harus kita persiapkan/sediakan untuk memenuhi kebutuhan mereka. Jika
hal-hal tersebut tidak dipahami, maka akan terjadi konflik, baik di tingkat
internal (antar pemangku kepentingan di destinasi pariwisata) maupun antara
pemangku kepentingan di destinasi pariwisata dengan wisatawan.
Wisatawan berkunjung ke suatu destinasi pariwisata karena
“…seeks various psychic and physical experiences and satisfaction” (mencari pengalaman dan kepuasan yang bersifat psikis dan fisik).1
berkaitan dengan hal
tersebut, sebuah faktor penting yang harus dipahami terlebih dahulu sebelum
sebuah destinasi pariwisata dikembangkan, adalah motivasi yang menjadi latar
belakang seseorang untuk berwisata. R.W. McIntosh2menjelaskan
bahwa motivasi yang mendorong seseorang untuk melakukan perjalanan adalah
sebagai berikut:
1. Pleasure (bersenang-senang),
dengan tujuan “melarikan diri” untuk sementara dari rutinitas sehari-hari;
2. Relaxation,
rest and recreation (beristirahat untuk menghilangkan stress), dengan
tujuan untuk menjaga kesehatan tubuh dan pikiran. Hal tersebut antara lain
dilakukan dengan mengunjungi lingkungan yang berbeda dengan yang dilihatnya
sehari-hari, di mana lingkungan tersebut memberikan kesan damai dan
menyehatkan;
3. Health (kesehatan),
yaitu berkunjung ke tempat-tempat yang dapat membantu menjaga kesehatan atau
menyembuhkan penyakit;
4. Participation
in sports (olah raga yang bersifat rekreasi);
5. Curiousity
and culture (rasa ingin tahu dan motivasi yang berkaitan dengan
kebudayaan), yang saat ini semakin meningkat kualitasnya karena perkembangan
teknologi informasi dan peningkatan kualitas pendidikan. Motivasi yang menjadi
latar belakang seseorang melakukan kunjungan dalam hal ini adalah keinginan
untuk melihat destinasi pariwisata yang memiliki nilai sejarah dan budaya yang
sangat tinggi or yang menyelenggarakan aktivitas budaya yang sangat penting,
seperti festival musik, festival seni, teater dan sebagainya;
6. Ethnic
and family (kesamaan etnik dan kunjungan kepada keluarga). Khusus
berkaitan dengan kesamaan etnik, orang dapat termotivasi untuk mengunjungi
suatu tempat karena dianggap sebagai tempat tinggal/kelahiran nenek moyangnya.
7. Spiritual
and Religious (alasan yang bersifat spiritual dan keagamaan);
8. Status
and prestige (menunjukkan status sosial dan gengsi), dengan tujuan
untuk menunjukkan kepada orang lain bahwa seseorang memiliki status sosial dan
gengsi yang tinggi karena mampu berwisata ke suatu destinasi pariwisata
tertentu; dan,
9. Professional
or business (melakukan aktivitas yang berkaitan dengan
profesi/pekerjaan), misalnya aktivitas menghadiri suatu sidang atau konferensi.
Dengan memahami kesembilan motivasi tersebut, para pemangku kepentingan di
suatu wilayah yang ingin mengembangkan diri menjadi destinasi pariwisata dapat
menjadi lebih mudah ketika mulai melakukan identifikasi mengenai potensi daya
tarik wisata yang ada di wilayahnya untuk ditawarkan kepada calon wisatawan.
Sebagai contoh, karena Kabupaten Solok memiliki Danau Kembar yang indah, maka
para pemangku kepentingan dalam industri pariwisata dapat membidik pasar yaitu
para wisatawan yang memiliki motivasi relaxation, rest and recreation atau curiousity
and culture. Hal ini mengandung pengertian pula bahwa infrastruktur dan
suprastruktur yang disediakan memang sesuai dengan motivasi yang menjadi latar
belakang seseorang untuk berwisata. Jika seseorang dengan motivasirelaxation,
rest and recreation disuguhi destinasi pariwisata yang terlalu ramai
dikunjungi wisatawan disertai tingkat kemacetan jalan dan polusi yang serius,
maka destinasi pariwisata tersebut kemungkinan dapat dinilai memiliki citra
yang buruk olehnya.
Mengapa
Destinasi Pariwisata Perlu Dikembangkan?
Untuk menjadi “sadar wisata”, maka pemangku kepentingan di suatu wilayah yang
memiliki potensi untuk menjadi destinasi pariwisata harus mengajukan pertanyaan
tersebut. Hal tersebut sangat penting karena akan berkaitan dengan analisis
keuntungan dan kerugian (cost and benefit analysis) dari kegiatan ini
dalam jangka pendek, menengah dan panjang.
Secara umum, ada begitu banyak alasan positif mengapa suatu destinasi
pariwisata perlu dikembangkan, terlebih lagi bagi negara sedang berkembang
seperti Indonesia. Beberapa di antaranya akan diuraikan dalam tulisan ini. Pertama,
sembilan motivasi seseorang untuk berwisata sebagaimana telah diuraikan pada
bagian sebelumnya merupakan peluang bagi suatu wilayah yang memiliki potensi
untuk menjadi destinasi pariwisata untuk menjadi “media” pemenuhan kebutuhan
dimaksud. Kedua, dengan menjadi media sebagaimana dimaksud pada
poin pertama, maka ada berbagai keuntungan yang dapat diraih, antara lain:
terbukanya lapangan pekerjaan; peningkatan kesejahteraan masyarakat di sekitar
destinasi pariwisata; meningkatkan nilai/citra suatu wilayah geografis,
termasuk yang miskin akan sumber daya ekonomi, dan mendorong revitalisasi suatu
wilayah geografis yang telah kehilangan daya tariknya, misalnya kota tua atau
wilayah bekas pertambangan.3 Ketiga, bagi negara sedang
berkembang, industri pariwisata dapat dikatakan merupakan media pembangunan
ekonomi yang tidak memerlukan investasi terlalu besar dalam jangka panjang
sebelum dapat memberikan keuntungan. Daya tarik wisata yang merupakan salah
satu modal utama untuk pengembangan kepariwisataan, sudah tersedia. Jika
dibandingkan dengan misalnya pengembangan industri otomotif, dibutuhkan modal
yang sangat besar dan waktu yang cukup lama sebelum keuntungan dapat diperoleh. Keempat,
dalam melaksanakan pembangunan dibutuhkan dana pendukung. Jika hal tersebut
bergantung kepada teknologi dari negara lain, maka devisa untuk pembangunan
akan tersedot ke luar negeri karena keharusan untuk mengimpor barang modal dan
barang habis pakai (terjadi leakage atau kebocoran devisa).
Sektor pariwisata dapat mengurangi ketergantungan impor karena sebagian besar
barang modal dan barang habis pakai dapat disediakan oleh destinasi pariwisata,
seperti kerajinan tangan, makanan dan minuman, dan daya tarik wisata.4
Kelima,
sekedar untuk memperkuat nilai positif kepariwisataan, data statistik
menunjukkan perannya yang sangat besar dalam perekonomian dunia. United
Nations’ World Tourism Organization (UNWTO) melaporkan bahwa pada
tahun 2010 jumlah kunjungan internasional telah mencapai angka 940 juta kali
dan menghasilkan keuntungan sebesar US$ 919 milyar.5Diperkirakan
bahwa pada tahun 2020, jumlah kunjungan internasional akan mencapai angka 1,56
milyar kali, dengan peningkatan jumlah perjalanan jarak jauh (long-haul)
dari 18% menjadi 24%.6 Dengan demikian, terdapat peluang yang
lebih besar bagi Indonesia untuk menarik lebih banyak segmen pasar tersebut
yang pada umumnya berasal dari negara-negara yang berpendapatan tinggi (negara
maju).
Keenam,
berkaitan langsung dengan upaya pengentasan kemiskinan, sektor pariwisata
memiliki peran yang sangat penting. Industri pariwisata dapat mengurangi
tingkat kemiskinan karena karakteristiknya yang khas sebagai berikut:
1.
Konsumennya datang ke tempat tujuan sehingga membuka peluang bagi penduduk
lokal untuk memasarkan berbagai komoditi dan pelayanan;
2.
Membuka peluang bagi upaya untuk mendiversifikasikan ekonomi lokal yang dapat
menyentuh kawasan-kawasan marginal;
3.
Membuka peluang bagi usaha-usaha ekonomi padat karya yang berskala kecil dan
menengah yang terjangkau oleh kaum miskin; dan,
4.
Tidak hanya tergantung pada modal, akan tetapi juga tergantung pada modal
budaya (cultural capital) dan modal alam (natural capital) yang
seringkali merupakan asset yang dimiliki oleh kaum miskin.7
Peran
Kepariwisataan: Menjadi Sektor Pendukung Pembangunan atau Sektor Utama
Pembangunan?
Satu hal yang nampaknya masih menjadi kelemahan utama dalam pelaksanaan proses
pembangunan di Indonesia adalah bahwa pada umumnya setiap orang atau kelompok
dalam masyarakat ingin menjadi pemeran utama. Ibarat sebuah tim sepak bola,
setiap pemain merasa berhak dan berkewajiban untuk menjadi pencetak gol atau
penyerang utama (striker). Sudah tentu hal tersebut merupakan sesuatu
yang mustahil untuk dilaksanakan. Tidak semua pemain harus menjadi penyerang
utama, namun harus diingat bahwa tanpa para pemain pendukung, seorang penyerang
utama sehebat apapun tidak akan memenangkan pertandingan.
Filosofi permainan sebuah tim sepak bola sangat penting untuk diterapkan di
dalam kepariwisataan, karena fenomena ini sifatnya sangat multidimensi.
Kepariwisataan pada dasarnya adalah sebuah konsep abstrak yang merupakan gabungan
dari berbagai unsur pendukung dan membentuk sebuah sistem. Artinya, para
pemangku kepentingan dalam industri pariwisata sejak awal harus sudah memahami
bahwa sektor ini tidak akan dapat berjalan dengan sendirinya tanpa dukungan
dari berbagai sektor lain. Oleh karena itu, di tingkat kebijakan selalu muncul
ungkapan bahwa sektor pariwisata tidak punya “barangnya”, karena yang memiliki
“barangnya” adalah sektor lain seperti transportasi, kehutanan, pertanian dan
sebagainya.
Dengan memahami “posisinya”, para pemangku kepentingan di sektor pariwisata
sebenarnya dapat berkontribusi lebih berarti dalam proses pembangunan. Hal
tersebut tidak perlu diartikan bahwa sektor pariwisata menjadi dianaktirikan
atau dinomorduakan. Jika para pemangku kepentingan di sektor pariwisata dapat
membuktikan bahwa kepariwisataan mampu membuat sebuah wilayah menjadi lebih
sejahtera dan dikenal luas, maka dengan sendirinya orang pada akhirnya akan
mengakui bahwa kepariwisataan merupakan “salah seorang pemain dalam tim
sepakbola” yang tidak dapat diabaikan.
Dengan demikian, kepariwisataan sebaiknya diposisikan sebagai sektor pendukung
keberhasilan pencapaian tujuan pembangunan. Prinsip yang dapat digunakan adalah
bahwa: “tourism is doing business in a smart way” (kepariwisataan adalah
melakukan bisnis dengan cara yang lebih pintar) (anonim). Berbagai jenis
aktivitas dapat dilakukan untuk mewujudkannya, seperti:
1.
Produsen mobil AS mempromosikan produknya dengan cara meluncurkan trilogi film
fiksi ilmiah “Transformer” yang menceritakan tentang peperangan antar
makhluk hidup berbentuk robot yang dapat mengubah dirinya menjadi mobil;
2.
Universitas Oxford (Inggris) menarik perhatian masyarakat dunia untuk
berkunjung ke sana melalui film fiksi ilmiah “Harry Potter” yang
menggunakan salah satu ruangan di kampus universitas tersebut sebagai tempat
pembuatan film tersebut;
3.
Kota Liverpool (Inggris) menjual pariwisata melalui ketenaran tim sepak bola
mereka dengan nama yang sama di Liga Inggris dan grup musik legendaris the
Beatles;
4.
Swiss menjadikan pisau lipat dan jam tangan dengan merekVictorinox yang
biasa digunakan oleh angkatan bersenjatanya sebagai salah satu suvenir khas
negara tersebut; dan sebagainya.
Dampak
Negatif Kepariwisataan
Dalam kegiatan di sektor pariwisata, sejumlah dampak negatif dapat muncul.
Dampak-dampak negatif tersebut harus dapat diantisipasi sejak dini agar tidak
menimbulkan kerugian yang bersifat jangka panjang bagi suatu destinasi
pariwisata. Pertama, ketika suatu wilayah tertentu berkembang
menjadi destinasi pariwisata, maka permintaan akan produk lokal dan tanah di
wilayah tersebut akan meningkat, sehingga harga akan terus meningkat. Sebagai contoh,
jika pakaian tradisional di suatu daerah sangat diminati oleh wisatawan, maka
peningkatan harga secara berkelanjutan akan menyebabkan penduduk setempat tidak
lagi mampu membeli pakaian tradisional mereka sendiri dan mungkin harus beralih
untuk memakai pakaian dengan kain yang harganya jauh lebih murah tetapi
merupakan produk impor.8
Kedua,
di dalam hasil penelitian the United Nations Economic and Social
Commission for Asia and the Pacific (UNESCAP) disebutkan bahwa
sebagian keuntungan yang dihasilkan dari sektor pariwisata internasional akan
kembali ke negara asal wisatawan.9 Kebocoran devisa (leakage)
dapat terjadi antara lain karena: makanan dan minuman dan peralatan yang
digunakan hotel/sarana akomodasi yang harus diimpor; gaji yang dibayarkan
kepada tenaga kerja asing; keuntungan yang diperoleh perusahaan asing di bidang
kepariwisataan; dan sebagainya.10 Hasil penelitian United
Nations Environmental Program (UNEP) pada tahun 2001 menunjukkan bahwa leakage
dari kegiatan di sektor pariwisata mencapai angka 70% di Thailand dan 80%
di wilayah Kepulauan Karibia.11 Jika diilustrasikan, hal
tersebut berarti bahwa misalnya dari US$ 100 yang dibelanjakan oleh wisatawan,
maka hanya US$ 30 yang menjadi keuntungan Thailand dan US$ 20 untuk wilayah
Karibia. Sementara itu, menurut World Bank, tingkat leakage paling
rendah untuk negara sedang berkembang adalah sebesar 40% di India.12
Ketiga,
kegiatan di sektor pariwisata dapat menimbulkan pencemaran lingkungan yang
serius. Sebagai contoh, sekitar 87% emisi gas rumah kaca dihasilkan oleh sektor
transportasi. Walaupun belum diketahui seberapa besar kontribusi sektor
transportasi udara di tingkat global terhadap volume emisi tersebut,
diperkirakan jumlahnya paling besar. Sebagai contoh, di Eropa, pada tahun 2000,
jumlah emisi gas rumah kaca yang dihasilkan dari sektor transportasi udara
telah mencapai angka 75% dari nilai total emisi gas rumah kaca yang dihasilkan
oleh seluruh jenis sarana transportasi yang digunakan (L.E. Preston dalam
Antariksa, 2011a).13Persoalan ini bersifat dilematis karena sektor
transportasi udara memberikan sumbangan terbesar terhadap pergerakan wisatawan
dari negara maju ke destinasi pariwisata di negara sedang berkembang (C.L.
Jenkins dan B.M. Henry dalam Antariksa, 2011b).14
Keempat,
politisasi sektor pariwisata juga dapat terjadi dalam hal-hal tertentu. Pada
umumnya pemerintah di negara maju memiliki posisi tawar (bargaining position)
yang sangat tinggi dibandingkan negara sedang berkembang dalam hal penetapan
kebijakan lalu lintas warga negaranya ke luar negeri. Sebagai contoh, travel
warning/advisory tidak hanya diberlakukan karena alasan-alasan
konvensional (bencana alam, persoalan kesehatan dan keamanan), tetapi juga
untuk mengakomodasi protes yang dilakukan oleh publik dan bahkan untuk
keperluan embargo ekonomi. Dengan demikian, kebijakan tersebut secara terselubung
mengandung kepentingan: “…to control where citizens visit and where their
money is spent” (D.J. Timothy dan G.P. Nyaupane dalam Antariksa, 2011b: 5).15 Di
samping itu, pariwisata dapat menciptakan ketergantungan negara sedang
berkembang yang semakin dalam terhadap negara maju. Martin Mowforth dan Ian
Munt (1998) mengatakan bahwa: “…it is people from the First World who make
up the significant bulk of international tourists and it is they who have the
resources to make relatively expensive journeys for pleasure, a clear example
of inequality”.16 Bahkan, seorang penulis mengatakan bahwa
pariwisata adalah: “’a neo-colonial extension of economic forms of
underdevelopment’ that reproduces historical patterns of structural
inequalities between developed and developing countries (Britton 1980:
149)”.17
Kelima,
sektor pariwisata dapat menimbulkan benturan ditinjau dari aspek sosial budaya.
Sebagai contoh, M.L. Narasaiah (2004) menyatakan bahwa:
“…the environment and natural beauty
may be harmed by infrastructure and hotel buildings; the intrusion of large
numbers of foreigners with little knowledge and respect for the local culture
and tradition may cause social tensions; there may be an upsurge of
prostitution and sex-related diseases; and the local economy may be disrupted
because labor is siphoned off from farming of the tourism sector,…”17
Pembangunan
Kepariwisataan yang Berkelanjutan: Beberapa Sumbangan Pemikiran
Pembangunan kepariwisataan yang berkelanjutan, yaitu yang menjamin bahwa
keuntungan yang optimal akan diperoleh secara berkelanjutan, hanya dapat
diwujudkan dengan pendekatan (kebijakan) yang bersifat komprehensif dan
terintegrasi. Elemen utama yang harus dimiliki dalam pelaksanaan proses
tersebut adalah kepemimpinan yang
baik(leadership). Leadership adalah sebuah
ramuan ajaib yang dapat mengubah suatu situasi yang “tidak mungkin” menjadi
“mungkin”. Ilustrasi sederhana yang dapat diungkapkan adalah bahwa secanggih
apapun sebuah senjata, kehebatannya di lapangan akan ditentukan oleh “the
man behind the gun”. Sebagai contoh, para pemimpin yang terkait di dalam
kepariwisataan (pemerintah dan non-pemerintah) harus memahami bahwa suatu
destinasi tidak dapat dikembangkan secara terus-menerus tanpa batas. Pembatasan
jumlah wisatawan yang berkunjung di suatu destinasi pariwisata atau daya tarik
wisata pada suatu waktu tertentu (carrying capacity) adalah hal yang
sangat penting demi mewujudkan pembangunan kepariwisataan yang berkelanjutan.
Jika hal tersebut diabaikan, maka kelangsungan destinasi pariwisata atau daya
tarik wisata akan terancam. Dengan demikian, mimpi indah tentang jumlah
kunjungan wisatawan mancanegara sebanyak 1,56 milyar kali pada tahun 2020
mungkin bukan merupakan sesuatu yang indah dalam kenyataan.18
Dikaitkan dengan pemanfaatan sektor pariwisata dalam mendukung upaya
pengentasan kemiskinan (poverty alleviation), perlu dipahami bahwa hal
tersebut tidak boleh diartikan sebagai secara sengaja menempatkan pelaku dalam
industri pariwisata – khususnya tenaga kerja dan pengusaha kecil dan menengah –
sebagai pihak yang perlu dikasihani, sehingga bisnis pariwisata menjadi sebuah
bisnis berdasarkan “belas kasihan”. Profesionalisme mereka harus ditingkatkan
secara berkelanjutan, yang pada akhirnya akan meningkatkan kualitas pelayanan
jasa dan kemudian mendorong peningkatan pendapatan. Menjadi pelayan bukan
berarti menjadi tidak memiliki harga diri, apalagi jika sudah menyangkut
kepariwisataan internasional yang berhubungan erat dengan harga diri sebagai
sebuah bangsa. Banyaknya kasus pelecehan seksual, penyiksaan dan pembunuhan
terhadap tenaga kerja wanita Indonesia di luar negeri harus dijadikan sebagai
pelajaran yang mahal bagi sektor pariwisata.
Pembangunan kepariwisataan juga harus menganut prinsip “di sini senang, di sana
senang”. Artinya, prinsip tersebut harus dapat menyebabkan wisatawan kembali ke
rumah dengan membawa memori yang indah tentang destinasi pariwisata atau daya
tarik wisata, dan membuat penduduk lokal juga merasa bahagia karena telah
memberikan kenangan manis untuk wisatawan dan mengajarkan sesuatu yang berharga
bagi wisatawan (selain memperoleh keuntungan ekonomi). Sebuah ilustrasi menarik
adalah pernyataan yang pernah disampaikan oleh Abdullah Gymnastiar (AA Gym)
pada tahun 2004 ketika memberikan presentasi tentang wisata religius di
Pesantren Daarut Tauhid (Bandung). Beliau mengatakan bahwa hal yang luar biasa
dari wisata tersebut adalah bahwa semua orang mendapatkan kesenangan: wisatawan
senang karena mendapatkan pelajaran berharga tentang agama Islam; pengurus
pesantren merasa senang karena telah memberikan kontribusi bagi perbaikan iman
wisatawan; dan, penduduk lokal merasa senang karena dapat meningkatkan
kesejahteraan ekonomi. Oleh karena itu, pembangunan kepariwisataan tidak boleh
menyebabkan persoalan kemacetan di jalan raya, kepadatan penduduk yang
berlebihan, konflik kepentingan antara wisatawan dan penduduk lokal;
peningkatan tindak kejahatan dan pelacuran; dan sebagainya.
Pembangunan kepariwisataan sedapat mungkin harus menjadi media bagi wisatawan
untuk belajar tentang
suatu nilai yang baik. Sesuai dengan semangat yang selalu dipromosikan oleh
UNWTO, pariwisata adalah media yang dapat meningkatkan perdamaian dan saling
pengertian antar bangsa. Oleh karena itu, para pelaku di sektor pariwisata
seharusnya tidak hanya mengejar kenaikan angka statistik mengenai jumlah
kunjungan wisatawan dan pendapatan/devisa.
Pembangunan kepariwisataan tidak boleh menyebabkan penduduk lokal kehilangan
“keahlian tradisionalnya” yang telah dimiliki sebelumnya. Jika hal itu terjadi,
maka selain dapat kehilangan kearifan lokal, penduduk lokal juga dapat terancam
kehilangan pekerjaan atau sumber pendapatan lain ketika terjadi krisis dalam
perkembangan kepariwisataan yang dapat disebabkan oleh berbagai faktor seperti
terorisme, wabah penyakit, bencana alam dan sebagainya. Oleh karena itu,
pembangunan kepariwisataan harus disesuaikan dengan karakteristik lapangan
pekerjaan yang sudah ada. Sebagai contoh, jika di suatu destinasi pariwisata
mata pencaharian utama penduduk lokal adalah pertanian, maka sebaiknya jenis
wisata yang dikembangkan adalah agrowisata.
Para pemangku kepentingan di sektor pariwisata harus secara intensif
mempromosikan pariwisata hijau (green tourism). Pada umumnya konsep
tersebut dapat diwujudkan justru jika kebijakan pembangunan kepariwisataan
berpedoman kepada kearifan lokal. Oleh karena itu, pembangunan kepariwisataan
harus didasarkan kepada pemahaman mengenai kebutuhan penduduk yang tinggal di
destinasi pariwisata.
Sebagai penutup tulisan ini, ada beberapa hal yang perlu dicermati berkaitan
dengan kondisi kehidupan masyakarat, baik di tingkat nasional maupun
internasional saat ini, dan kecenderungan-kecenderungan yang diperkirakan akan
terjadi di masa yang akan datang. Fenomena-fenomena tersebut perlu dipahami
agar pembangunan kepariwisataan di suatu destinasi pariwisata dapat berlangsung
secara berkelanjutan. Beberapa hal dimaksud adalah sebagai berikut:
1.
Krisis ekonomi global saat ini diperkirakan masih akan mengganggu kinerja
perekonomian dunia. Konsekuensi logis dari persoalan tersebut adalah potensi
berkurangnya jumlah wisatawan long-haul (dari benua Eropa dan
Amerika) yang disebabkan oleh menurunnya pendapatan masyarakat di kedua kawasan
tersebut. Oleh karena itu, disarankan agar pembangunan kepariwisataan untuk
sementara mengalihkan perhatian utama kepada wisatawan short-haul.
Di samping itu, pariwisata domestik harus dikembangkan sehingga menjadi tulang
punggung pembangunan kepariwisataan. Hal ini disebabkan pariwisata domestik
terbukti selalu menjadi “jaring pengaman” saat terjadi krisis dalam
kepariwisataan di tingkat internasional;
2.
Jika di masa yang akan datang jumlah wisatawan menjadi semakin banyak, maka mungkin
akan terjadi pembatasan jumlah wisatawan yang dapat berkunjung ke suatu negara.
Dengan demikian, mungkin saja seseorang yang akan berkunjung ke suatu negara
harus menunggu antrian selama beberapa bulan atau tahun karena berkaitan dengan
kebijakan mengenai carrying capacity dari negara yang akan
dikunjungi.19 Ditambah dengan perkembangan teknologi virtual
reality(VR) yang luar biasa, ramalan mengenai pertumbuhan jumlah wisatawan
dari UNWTO yang luar biasa tersebut dapat saja tidak sepenuhnya terbukti.
Sebagian orang mungkin akan memilih untuk berada di rumah dan berwisata dengan
menggunakan teknologi VR. Ini berarti, di masa yang akan datang, suatu
destinasi pariwisata harus benar-benar memiliki unique selling point yang
luar biasa untuk menjadi target kunjungan para wisatawan.
3.
Persaingan untuk menjadi destinasi pariwisata unggulan tidak lagi hanya terjadi
antar negara, melainkan akan menjadi persaingan antar wilayah geografis yang
lebih kecil – yang berarti membuat kualitas persaingan menjadi semakin berat,
yaitu pada tingkat kota.20 Oleh karena itu, masing-masing kota
di Indonesia harus mulai memikirkan slogan (branding) yang akan
digunakan dalam rangka mencapai tujuan menjadi destinasi pariwisata unggulan,
yang tidak hanya bersaing dengan kota-kota lainnya di tanah air, tetapi juga
secara langsung bersaing dengan kota-kota di seluruh dunia.
4.
Perkembangan teknologi informasi juga akan mengurangi peran Biro Perjalanan
Wisata (BPW) karena setiap orang akan memiliki akses yang semakin mudah
terhadap informasi yang sangat luas mengenai berbagai hal yang berkaitan dengan
pariwisata. Oleh karena itu, di masa yang akan datang, akan muncul para
konsultan perjalanan yang memiliki kemampuan untuk memberikan konsultasi bagi
para calon wisatawan tentang berbagai hal yang berkaitan dengan rencana
perjalanannya.
5.
Dalam beberapa tahun ke depan, wisata menggunakan sepeda motor kemungkinan
besar akan semakin meningkat. Oleh karena itu, perlu mulai dipertimbangkan
pengembangan berbagai infrastruktur dan suprastruktur yang memadai untuk para
wisatawan bersepeda motor tersebut.
0 komentar:
Posting Komentar